By Apiida
Seorang perempuan mengenakan mantel usang keluar dari gang di tengah hujan yang terus mengguyur. Wajah perempuan beusia 30 an itu bersungut. Ia terlihat kelam seperti langit yang kehitaman penuh hiasan kilat. Semburat merah mengiringi sore itu. Hari belum terlalu gelap tetapi hujan deras telah menelannya.
Satu dua orang berpapasan dengan Sri. Mereka tak memerhatikan apalagi saling tegur sapa. Pandangan terhalang derasnya air yang terus menyerang.
Baju berwarna hijau di balik mantel itu basah, tetapi pemiliknya tidak menggubris. Ia terus saja melaju. Di tengah perjalanan mendekati perempatan ujung dusun, tiba-tiba angin bertiup kencang. Mantel itu berkibar. Bagian kepala terlepas memperlihatkan kerudung hitam dengan manic kecoklatan. Perempuan itu berhenti sejenak. Rasa sakit yang menerpa wajah tak sepadan dengan sembilu yang telah menggores dan melukaihatinya.
“Arep nandi, Sri?”
Seorang lelaki berjalan menuntun sepeda berhenti. Di bagian belakang sepeda terlihat karung yang penuh terisi rumput. Badan lelaki yang lebih mirip kakeknya itu telah basah sempurna. Tubuh ringkihnya terlihat menggigil. Sesekali tangan keriput itu menyeka air yang menghalangi pandangan. Topi bambu untuk ke sawah tak mampu menghalangi angin. Hujan pun telah memporak-porandakan wajah di baliknya.
“Nang omahe MakSido.”
Tak mau menunggu lama, Sri menjalankan motor yang dititipkannya di warung Mbah Cikrak. Tepat di pagar pembatas desa, ia meninggalkan Pak Adi yang sibuk membenahi karet pengikat karung dengan boncengan sepeda yang mulai dipenuhi karat.
Sri mulai ngedumel tak jelas. Kalau saja bukan karena permintaan ibunya. Ia tidak akan sudi mau pergi ke rumah MakSido yang jauh dari desanya. Semangat Sri dihempaskan oleh jauhnya sawah yang harus dilewati. Apalagi di tengah hujan deras seperti ini.
Semua ini berawal dari permintaan ibu Sri. Pertanyaan tentang Mak Sido membuat telinganya berdenging. Dibiarkan, hati merasa bersalah. Berangkat dari tadi hati tak tenang. Bagaimanapun pekerjaan di pabrik masih banyak, ada pesanan masker yang harus dipenuhi hari itu. Namun, Sri rela melewatkan uang lemburannya demi memenuhi keinginan sang ibu.
Ah,belum lagi kalau memikirkan pekerjaan di rumah. Sebagai anak semata wayang,hanya dirinyalah yang dapat dijadikan tumpuan. Bapak Sri juga sudah sepuh, tak mungkin memberinya beban pekerjaan yang banyak. Akhirnya Sri nekat ke rumah Mak Sido, daripada pakaian yang direndamnya sia-sia dan makanan juga tak matang.
=====
Belum genap sebulan Sri menetap di desa kelahirannya. Ia sebelumnya merantau ke kota bersama suami dan anak semata wayangnya untuk mengais rezeki sebagai penjaga gerai makanan. Namun, wabah korona memupus semua usaha Sri untuk menabung lebih banyak. Belum lagi adanya berita sang ibu yang mengalami infeksi lambung.
Inilah kali pertama Sri memberanikan diri membawa Luqman untuk pulang di tengah kekhawatiran adanya wabah korona. Sedangkan sang suami tetap menetap di kota. Sri akhirnya lebih memilih bekerja serabutan asalkan bisa menjaga ibunya.
Kepulangan Sri disambut wajah ibunya yang pias dan lemas di atas tempat tidur. Elan hidup yang semula padam karena membayangkan hal tak diinginkan kini berkobar lagi.
“Maafkan Sri, Bu.”
Tangis Sri takterbendung. Ia memeluk ibunya yang terbaring di ranjang besi berwarna hijau kesayangannya. Derit ranjang itu memperlihatkan umurnya yang sudah di makan waktu.
“Tak apa, Nduk.” Suara sang ibu serak, nyaris tak terdengar.
Perlahan, Sri mengusap wajah keriput itu. Ada sesal di dada. Terlebih saat binary mata yang mulai menua itu memancarkan kasih sayang yang selama ini dilihatnya sejak kecil.
Sudah setahun ia tak pulang menengok kedua orang tuanya. Tahun lalu, ia menunda kepulangan untuk mengumpulkan cuti di hari puasa, sekaligus hari reuni keluarga. Namun, Allah berkehandak lain, korona datang tak diundang dan mengacaukan agenda yang telah disusun.
“Di mana Luqman?” Badan yang tak bertenaga itu masih memikirkan cucunya.
“Digendong Bapak, palingan ke kandang ”
Dada ringkih itu naik-turun. Pelan. Berirama. Selepas dari kamar sang ibu, Sri berkeliling rumah, berantakan. Seakan tak layak untuk ditinggali. Perempuan bermata cokelat itu hanya mengembuskan napas kuat-kuat. Sudah sejak lama kedua orang tuanya tinggal sendiri. Tiada yang menemani. Segala sesuatu dikerjakan tanpa bantuan orang lain. Bukan karena tak mau. Mereka mengirit untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari . Sedangkan Sri, mengikuti suami. Jarak rumah dengan suaminya sepuluh jam perjalanan menggunakan travel atau bus.
Sri berganti daster. Tanpa memedulikan kelelahan yang mendera, ia mencari sapu dan mulai membersihkan rumah yang sepenuhnya ta klagi rapat di sudut dindingnya. Dinding bambu yang mendominasi itu mulai berlubang. Labur—cat sederhana dari endapan gamping—telah rontok. Penyangga sekaligus penyokong rumah pun telah dimakan usia dan rayap. Di bagian dapur teronggok sisa pesta dari kecoak, laba-laba, tikus, dan cicak.
Malam hari, Sri tak lupa memijit kaki ibunya. Tangan dan kaki itulah yang sedari dulu menopang dan menenangkannya di kala ia sakit. Sampai sekarang pun kalau ia sakit dan telepon, sang ibu tanpa menunggu waktu langsung berangkat menjenguknya hingga ia sehat kembali. Kadang, walau hanya berbekal beras ia tetap akan meluncur melewati batas provinsi agar keluarga Sri tak kekurangan makanan. Pun sama dengan Bapak.
Sri mengoleskan minyak di perut yang kini telah menempel erat di tulang dan kulitnya. Perut yang semula berisi, kini menciut. Perut inilah yang setia menahan lapar hingga ia tergolek seperti sekarang. Di dalamnya, mungkin lambung lelah menahan lapar. Di setiap dindingnya ada luka, sama seperti kulit yang melapisinya.
“Mak Sido tidak datang? Biasanya dia ke sini walau sebentar.”
Sri terkejut. Jalanan sawah yang becek dan berbatu menyadarkan ingatannya lagi dari peristiwa beberapa hari sebelumnya. Mak Sido kakak ibunya yang tersisa. Ada banyak saudara lain dan tetangga yang bersedia datang dan membantu. Tak jarang, satu persatu dari mereka mengantarkan makanan. Walau tak sampai membersihkan rumah, setidaknya mereka ada. Namun, kenapa harus Mak Sido yang rumahnya jauh. Pertanyaan itu tak menemukan jawabannya selama Sri ada di rumah.
Sri hanya bisa geleng kepala mengingat kelakuan dan keinginan sang ibu.”Kalau bukan ibu yang meminta, aku pasti sudah pulang dari tadi!” sungut Sri.
Sri kembali memfokuskan pandangan. Hujan masih belum bersahabat. Dari kejauhan samar terlihat pendar lampu. Sri menepi dan berhenti. Di hadapannya terdapat kubangan besar dan panjang, jika tak bergantian salah satu dari mereka akan terperosok lumpur. Beruntung kalau tak sampai jatuh ke sungai yang mengapit jalan berbatu itu.
Suara motor terdengar membelah hujan. Saat mereka berdekatan, Sri mengenali postur pengendara di depannya. Mas Samsul, anak sulung Mak Sido.
“Lo, mau ke mana Sri?”ujar Mas Samsul.
“Mau ke rumahmu, Mas. Ibu mencari emak—panggilan kesayangan Mak Sido.”
“Kebetulan kami juga mau ke rumahmu. Dari kemarinemak juga mau ke sana tapi aku tak sempat.”
Setelahnya mereka beriringan ke rumah Sri.
Selepas membersihkan diri, Sri melihat Mas Samsul sudah bercengkrama dengan Bapak dan Luqman. Sedangkan Mak Sido ada di kamar. Perawakannya yang mungil, terlihat duduk mengusap kepala dan tangan ibunya. Pelan dan penuh sayang. Dari mulutnya terdengar cerita yang tak pernah terputus. Mungkin tentang masa kecil mereka.
Sri tak ingin mengganggu. Ia hanya berdiri di ambang pintu, di balik kelambu berwarna gading.
Sewaktu Sri mau berbalik ke dapur, sang bapak berdiri di belakangnya.
“Seperti Mbahmu.”
“Siapa?”
“Kau tak akan ingat. Mbahmu meninggal sewaktu kau masih kecil. Kau pasti lupa wajahnya, kita juga tak punya fotonya. Namun, yang paling mirip wajahnya dengan mbahmu yo Mak Sido iku.”
Sri membatalkan niatannya untuk beranjak. Ingatannya sewaktu sakit menyeruak. Saat itu, ia juga tak butuh banyak hal. Kehadiran sang ibu telah memberikan kekuatan dan kenyamanan yang tak tergantikan. Pun dengan kehadiran suaminya.
Sri mendekati mereka berdua. Terlihat sang ibu memejamkan mata, ia menikmati usapan itu sembari mengeluh dan menunjuk bagian pundak. Mak Sido dengan penuh perhatian memijit bagian yang ditunjuk. Walau juga terkantuk, Mak Sido tetap melakukannya.Keduanya bahkan tak menyadari kehadiran Sri lengkap dengan isakan kecil yang berusaha ia tahan sedari tadi.
Blitar, 15 Desember 2020